: mei
bila saja diberi kesempatan memohon satu nama
maka akan kupilih malam sebagai namamu
bukan karena dia lebih tenang dari gelap
tetapi karena dia setia pada hening dingin yang menggilirnya
bahkan gertak burung hantu pun tak mampu
meresap resah dalam kelamnya.
ah, andai saja bisu ini tak berhenti di sengau marun
mungkin aku bisa saja terus menari di altar sepi
merasai ramai sendiri di ujung pagi.
Kendari, Mei 2010
DI SIMPANG PILIHAN
akhirnya kematianlah yang menjeda kisahku
dulu aku masih bisa menceritakan kepadamu
bagaimana hujan begitu geli dan semangat
menumpahi telaga samping rumahku
yang semusim sunyi bisu
sejak angin menolak bersetubuh dengan dingin
melahirkan benci untuknya
juga penasaran hati ketika cuaca memaksa tanganku merayapi
pipimu menghapus jejak leleh air yang entah sebabnya mengalir
ah, aku lelah. sungguh
tanganku pegal merayap sebab jejaknya melingkar tak utuh
kau pun patuh, rela menyaksi
betapa aku tak kekar lagi
seperti dulu
bila saja kau tak memaksaku mendongeng
menyoal arah kiri kanan pandang
barangkali pilihan sendiri sanggup memberi napas pada kisahku
kini mataku hanya bisa melukis siluet
sesak gelisah pada pilihan menyata
meninggalkanmu.
Kendari, Juni 2010
PESAN KEPADA ANGIN
: avnel
angin,
aku cemburu tiap kali bayangannya mati
diranggas tanganku
kalah menggauli sepi malam
hingga bertegur lewat cermin bertuliskan kosong saja
yang bisa kuperihkan
direntang perdebatan kisah ini
angin,
aku gagal mengakali tua yang meruang
di jantungku
terlalu kuat pekat menjerit
mengelana sepanjang cerita
ah, sulit rasanya menyeka pedih
kering rasaku melara
tunduk mematuh pada usia menua
angin yang tenang,
sekali lagi: aku kalah
antarkan nasibku kemana pun kau mau
seperti kapuk menyerah padamu
Kendari, Juni 2010
SURAT KEPADA ILALANG
ilalang,
aku benci embus angin
menyaru jejak yang kutinggalkan
tepat dua puluh dua lembar waktu
menguning
di sisa pemakaman Mei
aku kehabisan tanda merangkaki kertas
juga tak bisa menerakannya pada batas
sebab angin tak berhenti menyimbol
tubuhku perlahan meluruh
mengalam,
bermalam
ilalang merumpun,
aku berhenti mengawini musim
setelah meninggalkan pergi tak lama
kanak-kanak menangis
kau lupa bagaimana danau setia dengan cintanya
patuh padamu
ilalang,
setelah hujan pergi sendiri
mengakarlah di kepalaku
biar kuingat sepi mewujud sendu
bianglala meredup rindu
ilalang yang baik,
sungguh kau taat menunduk
di bebayang senja
menyaksi, dia berkata:
"Apakah kau ingin membelah sepi yang memekakkan hati ini?
oh, ilalang,
aku pernah ingat kata-kata itu
tapi, aku lupa
pada siapa aku berhenti menanyakannya.
Kendari, 24 Juni 2010
PELAJARAN AKHIR TAHUN
:nenek Raatimah
ada sesuatu yang kita lupa dari sisa percakapan larut ini, di bawah kabut marun
menghilang di sela pohon akasia, tak bersisa seperti ditelan lamun. masih
sesak cerita menafasi: kisah si gembala domba, Santiago, setia terpanggang rekah matahari
membaca dan menulisi padang-padang berjarak rindu, atau Moor: gadis pedagang itu
tak jadi dia temui empat tahun lagi sebab rindu sudah luntur pada segiliran gadis gurun
begitu kau mengisah. lalu kau memintaku merapal mimpi-mimpi menemukan warisan menurun
sekerat cerita yang tak habis diurai kecuali menafsir nasib aku merentang cemas
pada seonggok tubuh tua layu: perempuan pemuja mimpi, peminang emas
sisa warisan itu, katamu
kelak depanku.
dulu masih kanakku, komba-komba samping gubuk setia menggagahi tanah rantau
burung-burung kocak bermain perdu, sesekali berkicau pekik di telingaku
reranting subur daun penuh seketika kala hutan belajar mengakrabi pagi usai kemarau.
kau sering memasak rindu tiap malam dalam khas sepinggan bhengki
sambil menunggu ramai bisik jangkrik menepi, hilang sendiri.
bila pagi datang menyapa ada pelajaran seni menenun sunyi
menggulung jejak bening subuh mencipta hening helai demi helai
bila bosan masih kau menyelip pelajaran mensketsa mimpi
sedikit mengurai kabut benci, katamu saat sepi senang menggilir hari-hari
tapi kini, kala aku merangkaki tegak dua puluh satu
tak kutemui lagi sisa cerita itu, cerita yang bukan sekadar mengemasi malam
menjadikannya subuh atau pagi cerah saat kelam mendekam.
kecuali sederet peranti kuasa mengisi semua buku pelajaran di tahun ajaran baru
di perih kisah sisa hutan ranggas: mewaktu.
semesta senyummu dulu, sekarang merupa sendu kelabu
bahkan awan enggan berangan sebab malu
angin memilih melangkah jauh berjalan di setapak hutan bakau
hujan asyik menasbihkan rintiknya tak peduli kepada siapa ia menuju.
sungguh sampai perih menyentuh dalamku
bila kau lihat sepadang bunga yang pernah mekar dulu belakang gubuk
itu sudah tak ada. berganti taman besuk
tempat mencicipi aroma bonsai muda
pohon jati disulap jadi tugu
ikan dipaksa makan tanah
laut kuning tua
ah, aku berhenti
tak usah kuceritakan lagi
dia utuh pekerjaan rumahku
nanti setelah kau siuman aku kembali
menghilang di sela pohon akasia, tak bersisa seperti ditelan lamun. masih
sesak cerita menafasi: kisah si gembala domba, Santiago, setia terpanggang rekah matahari
membaca dan menulisi padang-padang berjarak rindu, atau Moor: gadis pedagang itu
tak jadi dia temui empat tahun lagi sebab rindu sudah luntur pada segiliran gadis gurun
begitu kau mengisah. lalu kau memintaku merapal mimpi-mimpi menemukan warisan menurun
sekerat cerita yang tak habis diurai kecuali menafsir nasib aku merentang cemas
pada seonggok tubuh tua layu: perempuan pemuja mimpi, peminang emas
sisa warisan itu, katamu
kelak depanku.
dulu masih kanakku, komba-komba samping gubuk setia menggagahi tanah rantau
burung-burung kocak bermain perdu, sesekali berkicau pekik di telingaku
reranting subur daun penuh seketika kala hutan belajar mengakrabi pagi usai kemarau.
kau sering memasak rindu tiap malam dalam khas sepinggan bhengki
sambil menunggu ramai bisik jangkrik menepi, hilang sendiri.
bila pagi datang menyapa ada pelajaran seni menenun sunyi
menggulung jejak bening subuh mencipta hening helai demi helai
bila bosan masih kau menyelip pelajaran mensketsa mimpi
sedikit mengurai kabut benci, katamu saat sepi senang menggilir hari-hari
tapi kini, kala aku merangkaki tegak dua puluh satu
tak kutemui lagi sisa cerita itu, cerita yang bukan sekadar mengemasi malam
menjadikannya subuh atau pagi cerah saat kelam mendekam.
kecuali sederet peranti kuasa mengisi semua buku pelajaran di tahun ajaran baru
di perih kisah sisa hutan ranggas: mewaktu.
semesta senyummu dulu, sekarang merupa sendu kelabu
bahkan awan enggan berangan sebab malu
angin memilih melangkah jauh berjalan di setapak hutan bakau
hujan asyik menasbihkan rintiknya tak peduli kepada siapa ia menuju.
sungguh sampai perih menyentuh dalamku
bila kau lihat sepadang bunga yang pernah mekar dulu belakang gubuk
itu sudah tak ada. berganti taman besuk
tempat mencicipi aroma bonsai muda
pohon jati disulap jadi tugu
ikan dipaksa makan tanah
laut kuning tua
ah, aku berhenti
tak usah kuceritakan lagi
dia utuh pekerjaan rumahku
nanti setelah kau siuman aku kembali
Kendari, 13 Juli 2010
LIPATAN DUA BELAS
begini: sore ini kita tak usah belajar mengaji
aku tak siap sekalibukan bosan atau benci
tapi rindu mainan kanakku saja
kau tahu seni melipat kertas
yah, itu mainan pertamaku yang menetas
lipatan dua belas
aku paling lincah
tak pernah sekali pun kalah
bila teman-temanku minta berlomba
ah, lagi
kakekku melarang main hari ini
aku harus mengaji
dia mau aku menjadi da'i
baiklah, akan kuceritakan padamu lipatan dua belas itu
: setelah kakekku meninggal nanti
Kendari-Kedai Arus, 17:35 24/07/2010
MANTRA ELEGI
sembilan jengkal kaki langit
enam rapal tangan bukit
tiga raga padu
legam menyatu.
tujuh lisan menggunjing
lima menyalak nyaring
: anjing.
Kdi, 12082010
SEGELAS SEPI DAN SEKOTAK DADU
: altahira
1/
sejak terakhir kali memenuhkan gelas kopi kita
tak berarti saja setiap mampir cerita
kau asyik menyeruput sisa pekatnya
dan aku, tak pernah selesai merapal kagum
memikati rerapuh gelas buatan anak negeri ini
yang katanya: tanah zamrud khatulistiwa (?)
lalu setelahnya kita mengatakan apa
jika lidah saja sudah keluh
mata sembab
wajah mendung
kita mematung
pada sebatang kretek puntung
2/
kau tahu bila tanah ini tak pernah dapat kado dadu kotak?
yah, tanah ini tak merdeka
selalu dijajah sepi
tak bebas
padahal, katamu:
"aku ingin merdeka seperti dadu, bebas menentukan diri"
ah, kau tak perluh menuduhku begitu
matamu sudah melakukan itu lebih dulu
kita kembali saja
dengan gelas-gelas lain
sepi-sepi lain
setelah tanah ini dapat kado dadu kotak bernama
: merdeka
Kendari, Agustus 2010
-buket untuk bangsa ini yang tak pernah merdeka.
z sukakan lg puisi-puisimu eee...
BalasHapuskeren..keren..
BalasHapusmakasih wisnoe...semoga nanti kalian melebihi,,
BalasHapus