Kurasa puisi menabrak semua
batas
Puisi tidak beragama, tidak
punya Tuhan
Puisi tak mengenal primordial
Lalu, masih asyik sendirikah
kita dengan karya sendiri?
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah
menghasilkannya. Sebuah karya sastra akan saling mempengaruhi secara timbal
balik dan rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural yang ada. Karya sastra
itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit dan membawa pengaruhnya
sendiri. Puisi sebagai sebuah karya sastra merupakan hasil cipta dan penggalian
ide secara imajinatif manusia yang bertolak dari kehidupan manusia. Puisi
merupakan genre sastra yang menyajikan kehidupan manusia secara figuratif,
ringkas, ekspresif, dan imajiner dibandingkan dengan cerpen atau novel yang
cenderung naratif. Beban puisi tidak ringan. Puisi menyelinap di antara sekian
banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan
penyingkiran.
Puisi adalah rumah sederhana. Yah, siapa yang
akan menolak mengatakan ini kecuali bagi mereka yang berpikir puisi selalu
mengetengahkan ornamen diksi yang sulit diinteerpretasi. Layaknya rumah, puisi
selalu menjanjikan kenyamanan yang tereduksi dalam kesederhanaan, meski
kepatuhan pada tipografi juga selalu menjadi rongga masalah. Puisi adalah musik
kehidupan, mengalun dalam regam dimensi perasaan. Setiap personal berani men-judge genre sastra ini sebagai bahasa
pengantar perasaan, tapi sebagian juga masih meragukannya. Entahlah. Keraguan
ini sesungguhnya lahir dari ketaksampaian membaca resep membuat puisi. Bagi
saya (personal), puisi diracik dari bumbu sederhana, yaitu pengalaman dan
pengamatan. Meski resep ini rasanya klasik, tetapi masih ada saja orang yang
susah merasai dan mengecap puisi yang dihidangkan oleh penulisnya (penyair). Alasannya
sederhana, dengan tenang mereka akan mengatakan “kata-katanya sulit dan baru
didengar”. Masalah ini kedengarannya agak universal dan seolah komprehensif
sekali. Hampir setiap orang yang baru bersentuhan dengan puisi akan mengatakan
hal yang sama. Apakah ini tradisi beralasan saja ataukah pelarian dari
justifikasi publik atas kekurangan mereka dalam konsumsi kosa kata? Barangkali,
setiap orang juga punya alasan masing-masing. Kita yang ‘agak’ paham dengan
puisi sebaiknya memberi kemerdekaan pada
mereka atas tradisi beralasan ini. Tetapi kita juga sebaiknya
memunculkan skeptis dan curious untuk
hal semacam ini agar kelak kita bisa menggunggat kemerdekaan ‘mereka’ beralasan
kalau puisi itu ternyata sederhana dan mudah dimaknai.
Penyair begitu intens ‘bersetubuh’ dengan
puisinya. Kesenangan itu juga menimbulkan ragam paradigma dari banyak kalangan.
Setiap penyair hanya bisa beronani dengan karyanya. Pernyataan ini juga lahir
dari sekian banyak orang yang tidak mampu memahami dan menyelami kehidupan
penyair dengan karyanya. Inilah yang kemudian mengakibatkan sebagian individu secara
perlahan tapi pasti mulai meninggalkan puisi. Pertanyaan untuk kita semua
adalah penyairkah yang tidak mampu menyuguhkan puisi dengan bahasa sederhana
namun sarat makna? Ataukah kembali ‘pembaca’ yang tidak sampai pada pemaknaan
karena alasan bahasa yang digunakan penyair sulit diterjemahkan. Pada siapakah
kita akan membebankan perntanyaan ini untuk selanjutnya dijawab. Fakta juga
menunjukan bahwa dari sekian banyak penyair yang mempublikasikan puisinya,
‘orang awam’ sangat sedikit yang berani berkomentar atas puisi tersebut. Tetapi
lihat mereka sesama penyair, begitu asyik dan syahdu bertegur sapa bahkan
berani mengkritik jika saja puisi tersebut tidak bagus. Anehnya lagi, sesama
penggiat puisilah yang asyik memadu kata untuk setiap puisi yang
dipublikasikan. Selebihnya, pembaca pemula atau peminat hanya akan mengatakan
dan memberikan pujian lazim, yaitu bagus,
mantap, saya suka, dan lanjutkan.
Pernyataan singkat tersebut sebenarnya lahir
karena bentuk-bentuk problema yang dari awal tulisan ini sudah dipaparkan.
Lalu, upaya apa yang bisa kita lakukan ketika daya hanya berpacu dengan sikap
acuh dan mematung. Alasannya karena ketika puisi ketika berada ditangan pembaca
maka dia berhak untuk membaca, mengeinterpretasi yang akhirnya menjustifikasi
puisi tersebut. kalau begitu, maka penyair ‘kesannya’ hanya menuntaskan puisi
sebagai lahan meraup pundi-pundi materi, pamor dan eksistensi, dan legalitas
kepenyairan. Selanjutnya lupa kalau sebagai sebuah bahan bacaan, seyogyanya
orang paham dan tahu (meski itu sedikit dan masih diragukan). Akhirnya,
siapakah yang keliru sebenarnya???
Sekali lagi, tulisan ini sengaja dilahirkan
karena keresahan banyak peminat dan penikmat. Seyogyanya ketika kita membaca
tulisan ini, marilah kita menggugat jika salah dan menilai baik jika ini benar.
Sejak awal pun sudah dituliskan bahwa puisi itu ruang dan atas kuasanya ‘puisi’
menabrak semua batas yang menjadi pembatas. Selanjutnya, terserah kita akan
menuntaskannya sebagai apa.
Raha-Kendari, 27’12’2010
--- buket perjalanan
pulang