Rabu, 05 Januari 2011

Minoritas Menggugat Tradisi ‘Onani’ Penyair


Kurasa puisi menabrak semua batas
Puisi tidak beragama, tidak punya Tuhan
Puisi tak mengenal primordial
Lalu, masih asyik sendirikah kita dengan karya sendiri?

Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Sebuah karya sastra akan saling mempengaruhi secara timbal balik dan rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural yang ada. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit dan membawa pengaruhnya sendiri. Puisi sebagai sebuah karya sastra merupakan hasil cipta dan penggalian ide secara imajinatif manusia yang bertolak dari kehidupan manusia. Puisi merupakan genre sastra yang menyajikan kehidupan manusia secara figuratif, ringkas, ekspresif, dan imajiner dibandingkan dengan cerpen atau novel yang cenderung naratif. Beban puisi tidak ringan. Puisi menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran.

Puisi adalah rumah sederhana. Yah, siapa yang akan menolak mengatakan ini kecuali bagi mereka yang berpikir puisi selalu mengetengahkan ornamen diksi yang sulit diinteerpretasi. Layaknya rumah, puisi selalu menjanjikan kenyamanan yang tereduksi dalam kesederhanaan, meski kepatuhan pada tipografi juga selalu menjadi rongga masalah. Puisi adalah musik kehidupan, mengalun dalam regam dimensi perasaan. Setiap personal berani men-judge genre sastra ini sebagai bahasa pengantar perasaan, tapi sebagian juga masih meragukannya. Entahlah. Keraguan ini sesungguhnya lahir dari ketaksampaian membaca resep membuat puisi. Bagi saya (personal), puisi diracik dari bumbu sederhana, yaitu pengalaman dan pengamatan. Meski resep ini rasanya klasik, tetapi masih ada saja orang yang susah merasai dan mengecap puisi yang dihidangkan oleh penulisnya (penyair). Alasannya sederhana, dengan tenang mereka akan mengatakan “kata-katanya sulit dan baru didengar”. Masalah ini kedengarannya agak universal dan seolah komprehensif sekali. Hampir setiap orang yang baru bersentuhan dengan puisi akan mengatakan hal yang sama. Apakah ini tradisi beralasan saja ataukah pelarian dari justifikasi publik atas kekurangan mereka dalam konsumsi kosa kata? Barangkali, setiap orang juga punya alasan masing-masing. Kita yang ‘agak’ paham dengan puisi sebaiknya memberi kemerdekaan pada  mereka atas tradisi beralasan ini. Tetapi kita juga sebaiknya memunculkan skeptis dan curious untuk hal semacam ini agar kelak kita bisa menggunggat kemerdekaan ‘mereka’ beralasan kalau puisi itu ternyata sederhana dan mudah dimaknai.

Penyair begitu intens ‘bersetubuh’ dengan puisinya. Kesenangan itu juga menimbulkan ragam paradigma dari banyak kalangan. Setiap penyair hanya bisa beronani dengan karyanya. Pernyataan ini juga lahir dari sekian banyak orang yang tidak mampu memahami dan menyelami kehidupan penyair dengan karyanya. Inilah yang kemudian mengakibatkan sebagian individu secara perlahan tapi pasti mulai meninggalkan puisi. Pertanyaan untuk kita semua adalah penyairkah yang tidak mampu menyuguhkan puisi dengan bahasa sederhana namun sarat makna? Ataukah kembali ‘pembaca’ yang tidak sampai pada pemaknaan karena alasan bahasa yang digunakan penyair sulit diterjemahkan. Pada siapakah kita akan membebankan perntanyaan ini untuk selanjutnya dijawab. Fakta juga menunjukan bahwa dari sekian banyak penyair yang mempublikasikan puisinya, ‘orang awam’ sangat sedikit yang berani berkomentar atas puisi tersebut. Tetapi lihat mereka sesama penyair, begitu asyik dan syahdu bertegur sapa bahkan berani mengkritik jika saja puisi tersebut tidak bagus. Anehnya lagi, sesama penggiat puisilah yang asyik memadu kata untuk setiap puisi yang dipublikasikan. Selebihnya, pembaca pemula atau peminat hanya akan mengatakan dan memberikan pujian lazim, yaitu bagus, mantap, saya suka, dan lanjutkan.

Pernyataan singkat tersebut sebenarnya lahir karena bentuk-bentuk problema yang dari awal tulisan ini sudah dipaparkan. Lalu, upaya apa yang bisa kita lakukan ketika daya hanya berpacu dengan sikap acuh dan mematung. Alasannya karena ketika puisi ketika berada ditangan pembaca maka dia berhak untuk membaca, mengeinterpretasi yang akhirnya menjustifikasi puisi tersebut. kalau begitu, maka penyair ‘kesannya’ hanya menuntaskan puisi sebagai lahan meraup pundi-pundi materi, pamor dan eksistensi, dan legalitas kepenyairan. Selanjutnya lupa kalau sebagai sebuah bahan bacaan, seyogyanya orang paham dan tahu (meski itu sedikit dan masih diragukan). Akhirnya, siapakah yang keliru sebenarnya???

Sekali lagi, tulisan ini sengaja dilahirkan karena keresahan banyak peminat dan penikmat. Seyogyanya ketika kita membaca tulisan ini, marilah kita menggugat jika salah dan menilai baik jika ini benar. Sejak awal pun sudah dituliskan bahwa puisi itu ruang dan atas kuasanya ‘puisi’ menabrak semua batas yang menjadi pembatas. Selanjutnya, terserah kita akan menuntaskannya sebagai apa.

Raha-Kendari, 27’12’2010
--- buket perjalanan pulang